"kau terlihat terlalu menyiksa dirimu sendiri." katanya kepadaku saat kita sedang duduk di cafe ini lagi. dengan bertambah dinginnya musim hujan yang hampir membuat kita tidak mungkin tetap berada diluar.
aku menggosok-gosok lengan. "kau salah, aku merasa lebih berdaya karena mempertahankannya."
dia terlihat khawatir dan mengamatiku "aku ragu."
"aku sedang berusaha. aku memang agak kusut. ini seolah aku tidak bisa berdiri diatas kakiku sendiri."
"tidak bisakah kau bersikap longgar kepada dirimu sendiri ?"
"itulah yang ku lakukan saat ini, bersikap longgar kepada diri sendiri."
"oh begitu yang kau sebut longgar ? dan laki-laki itu sebagai krukmu ?"
"kenapa ? menurutmu itu akan membuatku patah ? bahwa sekarang aku adalah wanita yang melekat yang tidak bisa berdiri di atas kedua kakinya sendiri ?"
dia memucat, beberapa saat ia berkata muram "yang kau maksud dengan patah, arti sebenarnya atau kiasan ?"
demi Tuhan. aku berusaha sekuat tenaga memfokuskan diri. "kau tau, aku baik-baik saja. sampai-sampai aku berpikir untuk kembali kesana. dan kemudian..." aku mengulang gerakan meremas dengan kepalan, menggigit ujung-ujung kuku dijariku, menggambarkan bahwa jiwaku sedang remuk seperti kaleng kosong.
"coba pertimbangkan ini, daripada memaksakan sesuatu yang ideal, tapi membuat dirimu terbunuh, kenapa kau tidak mencari sesuatu yang bisa dilakukan dan membuatnya terlaksana ?"
dua pasang mata kita saling kunci. 'sebuah pertemuan' seperti yang kau bayangkan bisa memerlukan waktu 7 bulan untuk benar-benar dilaksanakan.. itu pun belum cukup benar.
Komentar
Posting Komentar