Langsung ke konten utama

Formalitas - Seperti Seharusnya

aku merasa buruk. tentang semuanya. aku merasa sangat lelah, namun tidur sepertinya tidak memungkinkan. seberat apapun kelopak mataku, mereka tetap terbuka sepanjang pagi ini.

seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti seharusnya.”
“selamat pagi, sayang.” sudah ku bilang, ini seperti biasanya (seperti seharusnya), sarapan dan kopinya kusiapkan rapi tersaji diatas meja makan sebelum dia berangkat bekerja.

seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti seharusnya.”
sudah ku bilang, ini seperti biasanya (seperti seharusnya), makan malam dan kopinya sudah kusiapkan rapi tersaji diatas meja makan, aku menungguinya pulang.

seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti seharusnya.”
sudah ku bilang, ini seperti biasanya (seperti seharusnya), melayaninya – membuatkan kopi untuknya jika dia harus menghadap laptop beserta berkas-berkas grafik yang tak pernah aku mengerti cara membacanya hingga larut malam. kopi favorite yang paling awas untuk menjaga matanya agar tetap terjaga.

seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti seharusnya.”
sudah ku bilang, ini seperti biasanya (seperti seharusnya), aku memasukkan baju-baju dan perlengkapan lain kedalam koper, jika dia harus pergi ke luar kota beberapa hari karena urusan kantor.

seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti seharusnya”
sudah ku bilang, ini seperti biasa (seperti seharusnya), mendengarkan perintahnya untuk aku  tetap tinggal dirumah saja, sedang dia melakukan aktifitas luar bersama teman-temannya.

tapi, dia tak pernah mengatakan apapun.

aku menjatuhkan diri pada sebidang kecil rerumputan dihalaman belakang dan mendekap lututku, kepalaku terbenam diantara kedua tempurung. air mata mengucur deras saat ini, menetesi kedua kakiku. dan ketika aku duduk sendirian di rerumputan ini, memandangi dua buah kursi dari bamboo beserta mejanya – tempat favorit lelaki yang sudah menghabiskan belasan tahun hidupnya bersamaku. (dalam duatahun usia pernikahan), tapi tak pernah menghabiskan sedikitpun waktunya disudut ini bersamaku. aku merasa benar-benar seperti pecundang.  
benar-benar lucu. segera ku seka air mata memalukan ini, dan yakin ada bekas comong mascara hitamku yang tercetak dilutut.

handphone bordering, caller ID-nya menunjukkan “nomor tidak dikenal”, tetapi begitu ku dengar suara dibalik telepon, aku tau persis siapa yang menelepon.

“hallo, sayang.”
“Huh, Falla.” kataku dingin, seperti ada perpaduan aneh antara kecewa dan lega. kecewa karena aku berharap itu telepon dari suamiku diluarkota, dan lega karena aku tidak yakin mampu bertemu dengan siapapun pagi ini.
“sedang apa ?”
aku melihat disekeliling halaman. “hanya diam.”
“kalau begitu, kenakan baju yang manis karena kita akan jalan-jalan.”
ada banyak hal yang tengah ku pikirkan saat ini. ada yang penting ada yang tidak. beberapa sepertinya akan membuat perubahan dalam hidupku dan beberapa sepertinya tak berguna.
lalu ku dengar diriku berkata, “kedengarannya asik, jemput aku pukul satu.”

…..
Falla tiba dengan mobil mungil ungu kesukaannya dan kami pun bertolak ke café yang terletak ditengah kota. dia meyakinkan aku telah membuat pilihan yang tepat karena ikut bersamanya siang ini. dan Falla adalah satu-satunya orang yang tau persis segala tentang hubunganku dengan Rama, suamiku. bahkan orang tuaku saja, tidak tau.

oh ternyata inilah, yang dikatakan Falla bahwa aku telah membuat pilihan yang tepat karena ikut bersamanya siang ini. bahwa, sepupunya lebih menjanjikan. “apa yang tak dimiliki Denny ?”

aku katakan padanya, aku rasa tak ada, semua dimilikinya. Tetapi sebenarnya, aku bahkan tak berusaha memikirkannya. dengan Falla, semuanya hanya pertanyaan retorika. pertanyaan itu bukan untuk dijawab.

.....
setelah itu, setelah makan siang di café itu, Denny selalu duduk bersama kami disetiap makan siang berikutnya.. berikutnya.. dan berikutnya.. dan selalu ada semacam kepuasan yang nyaman dan kelegaan karena bisa bersama Denny.

sepertinya beban telah terangkat. segalanya juga jadi lebih mudah. sesekali aku berjalan-jalan dengan Denny tanpa Falla. kami pergi ke Mall dan dia memilihkan beberapa kemeja kantor untukku, kemudian kami pergi ke gerai makanan dan dia yang mengatakan padaku apa yang bisa ku makan agar aku cepat gemuk. kami menyusuri toko alat rias dan dia yang akan mengatakan padaku warna mana yang cocok dengan mataku. dan, aku sangat menyukai itu. menyukai yang tak pernah bisa kulakukan bersama suamiku.

…..
dan walaupun aku berusaha keras, aku hampir mampu membuat diriku percaya bahwa selama dua tahun terakhir tak ada yang terjadi, aku dan suamiku baik-baik saja. Denny itu pengecualian. bayangan dirinya seperti hantu dari kehidupan sementaraku, begitu aku menyebutnya. bangkit dari kematian untuk menghantui aku. Untuk mengingatkanku tentang apa yang telah ku tinggalkan dalam reruntuhan.

“aku rasa kita berdua tau bahwa itu lebih dari sebuah….” kalimat itu membuntuti kemanapun aku pergi, memanas-manasiku, mengolok-olokku – menantangku menyangkalnya. menantangku untuk memperdebatkan dari sisi lain. aku tak bisa. aku tak mampu menemukan alasan yang meyakinkan untuk mendukung sudut pandang yang sangat berbeda ini. aku rasa Denny akan - sangat bisa mengerti keadaanku.

“seharusnya kau mencintai pria yang tak menyia-nyiakanmu. yang memperlakukanmu layaknya dia adalah seorang suami.”, yaa Denny. aku juga selalu berharap Rama akan bisa menjadi suami dan ayah yang seharusnya.

dan kini, yang tertinggal hanyalah sebuah pertanyaan yang sudah dijawab. aku akan tetap menjadi istri untuk suamiku, menghapus perasaanku pada sepupu Falla.


sekalipun hubunganku dengan Rama lebih pantas orang sebut sebagai formalitas daripada hubungan yang didasari cinta kasih, biarkanlah aku membuatnya terasa tetap manis, dengan melakukan seperti yang seharusnya ku lakukan layaknya seorang istri.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Gandeng Tangan

malam minggu romantis ke Pacet, bareng Ayah Ibu. ehm... semacam sudah jadi rutinitas seminggu sekali kesini sih. ..... entah kenapa, Ibu-ku rewel banget hari ini. yang berangkat molor sejam nunggu dia dandan. yang minta mampir sini, mampir sana, beli ini, beli itu. dan.. beberapa menit kemudian sepertinya dia mulai lapar, lalu minta makan-nya harus nasi goreng . (sebentaran sudah nyampek lokasi, eh rewel lagi.) syukur-syukur nemu penjual nasi goreng nih kan. (tapi, zonk. gak seberapa enak). mamam tuh bu ! hahaha *astaga, bella mintamaaf bu*. oke skip, inti cerita dari judul diatas itu kayak gini. Nasi Goreng Pak Joui ..... kebetulan kita bertiga semeja dengan dua sejoli, yang nampaknya sih berstatus 'pacaran'. eh nasi goreng datang, kita mamam dulu yaa. "mana sih ? iyaa... iyaa...". "jangan dihapus. kenapa sih memang ?" ewuuul, mbak ini gelandotan manja banget ke mas-nya, sambil ngubek-ngubek handphone si mas-nya gitu. (maklum, pacar

Wonderful Sunset ( Bangkalan Madura )

okay, ini kali kedua aku menginjakkan kaki ke Pulau Madura, sebelumnya... kali pertama kesini sengaja ingin mencicipi bebek terkenal di Madura "Bebek Sinjay", tidak hanya menikmati kulinernya, aku juga teman-temanku yang lain disuguhi keindahan Pulau Madura dari ketinggian 60m, di Mercusuar Sembilangan berlantai 17.  25 Desember 2013, Merry Christmast yang selalu identik dengan hari libur. hehe semalam, aku memang sudah berencana ingin ke Pelabuhan Perak, aku ingin mencoba bagaimana rasanya duduk dikapal, menyebrang ke Pulau Madura. yap, akhirnya... kali kedua ini aku hanya berangkat berdua dengan sahabat terbaikku siang itu, Risa. kita hanya merogoh dompet Rp.12.000,- untuk biaya masuk pelabuhan dan biaya transportasi kapal. tidak jauh dari jarak kapal berhenti, kita bisa melihat patung tugu pahlawan TNI AL Surabaya, tinggi besar. sedikit kapal yang kita tumpangi menuju ketengah laut, kita bisa melihat jembatan Suramadu yang kali kedua ke Pulau Madura kita melewatinya. rasan

Kabar-Kabar Lagi Nanti !

Apa kabar berkali-kali kau bilang "goblok" separuh bagianku ini ? Tapi aku ganti baru sekali saja, kau bilang sakitnya setengah mati ! 🤣 Lalu pernah tidak kau tanyakan bagaimana kabar ku begini ? Biar tidak hanya melalu kamu yang tidak boleh tersakiti. Oke, aku nanti kabar-kabar berikutnya.. Pokoknya kamu harus bahagia ! Kamu harus menang seenaknya. Ya !