aku merasa buruk. tentang semuanya. aku merasa sangat lelah, namun tidur sepertinya tidak memungkinkan. seberat apapun kelopak mataku, mereka tetap terbuka sepanjang pagi ini.
seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti
seharusnya.”
“selamat pagi, sayang.” sudah ku bilang, ini seperti biasanya (seperti
seharusnya), sarapan dan kopinya kusiapkan rapi tersaji diatas meja makan
sebelum dia berangkat bekerja.
seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti
seharusnya.”
sudah ku bilang, ini seperti biasanya (seperti seharusnya), makan malam
dan kopinya sudah kusiapkan rapi tersaji diatas meja makan, aku menungguinya
pulang.
seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti
seharusnya.”
sudah ku bilang, ini seperti biasanya (seperti seharusnya), melayaninya
– membuatkan kopi untuknya jika dia harus menghadap laptop beserta
berkas-berkas grafik yang tak pernah aku mengerti cara membacanya hingga larut
malam. kopi favorite yang paling awas untuk menjaga matanya agar tetap terjaga.
seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti
seharusnya.”
sudah ku bilang, ini seperti biasanya (seperti seharusnya), aku
memasukkan baju-baju dan perlengkapan lain kedalam koper, jika dia harus pergi ke
luar kota beberapa hari karena urusan kantor.
seperti biasanya, oh mungkin akan lebih pantas ku tuliskan “seperti
seharusnya”
sudah ku bilang, ini seperti biasa (seperti seharusnya), mendengarkan
perintahnya untuk aku tetap tinggal
dirumah saja, sedang dia melakukan aktifitas luar bersama teman-temannya.
tapi, dia tak pernah mengatakan apapun.
aku menjatuhkan diri pada
sebidang kecil rerumputan dihalaman belakang dan mendekap lututku, kepalaku
terbenam diantara kedua tempurung. air mata mengucur deras saat ini, menetesi
kedua kakiku. dan ketika aku duduk sendirian di rerumputan ini, memandangi dua
buah kursi dari bamboo beserta mejanya – tempat favorit lelaki yang sudah
menghabiskan belasan tahun hidupnya bersamaku. (dalam duatahun usia
pernikahan), tapi tak pernah menghabiskan
sedikitpun waktunya disudut ini bersamaku. aku merasa benar-benar seperti
pecundang.
benar-benar lucu. segera ku seka air mata memalukan ini, dan yakin
ada bekas comong mascara hitamku yang tercetak dilutut.
handphone bordering, caller
ID-nya menunjukkan “nomor tidak dikenal”, tetapi begitu ku dengar suara dibalik
telepon, aku tau persis siapa yang menelepon.
“hallo, sayang.”
“Huh, Falla.” kataku dingin, seperti
ada perpaduan aneh antara kecewa dan lega. kecewa karena aku berharap itu
telepon dari suamiku diluarkota, dan lega karena aku tidak yakin mampu bertemu
dengan siapapun pagi ini.
“sedang apa ?”
aku melihat disekeliling halaman.
“hanya diam.”
“kalau begitu, kenakan baju yang
manis karena kita akan jalan-jalan.”
ada banyak hal yang tengah ku
pikirkan saat ini. ada yang penting ada yang tidak. beberapa sepertinya akan
membuat perubahan dalam hidupku dan beberapa sepertinya tak berguna.
lalu ku dengar diriku berkata, “kedengarannya
asik, jemput aku pukul satu.”
…..
Falla tiba dengan mobil mungil
ungu kesukaannya dan kami pun bertolak ke café yang terletak ditengah kota. dia
meyakinkan aku telah membuat pilihan yang tepat karena ikut bersamanya siang
ini. dan Falla adalah satu-satunya orang yang tau persis segala tentang
hubunganku dengan Rama, suamiku. bahkan orang tuaku saja, tidak tau.
oh ternyata inilah, yang
dikatakan Falla bahwa aku telah membuat pilihan yang tepat karena ikut
bersamanya siang ini. bahwa, sepupunya lebih menjanjikan. “apa yang tak
dimiliki Denny ?”
aku katakan padanya, aku rasa tak
ada, semua dimilikinya. Tetapi sebenarnya, aku bahkan tak berusaha
memikirkannya. dengan Falla, semuanya hanya pertanyaan retorika. pertanyaan itu
bukan untuk dijawab.
.....
setelah itu, setelah makan siang
di café itu, Denny selalu duduk bersama kami disetiap makan siang berikutnya..
berikutnya.. dan berikutnya.. dan selalu ada semacam kepuasan yang nyaman dan
kelegaan karena bisa bersama Denny.
sepertinya beban telah terangkat.
segalanya juga jadi lebih mudah. sesekali aku berjalan-jalan dengan Denny tanpa
Falla. kami pergi ke Mall dan dia memilihkan beberapa kemeja kantor untukku,
kemudian kami pergi ke gerai makanan dan dia yang mengatakan padaku apa yang
bisa ku makan agar aku cepat gemuk. kami menyusuri toko alat rias dan dia yang
akan mengatakan padaku warna mana yang cocok dengan mataku. dan, aku sangat
menyukai itu. menyukai yang tak pernah bisa kulakukan bersama suamiku.
…..
dan walaupun aku berusaha keras,
aku hampir mampu membuat diriku percaya bahwa selama dua tahun terakhir tak ada
yang terjadi, aku dan suamiku baik-baik saja. Denny itu pengecualian. bayangan dirinya
seperti hantu dari kehidupan sementaraku, begitu aku menyebutnya. bangkit dari
kematian untuk menghantui aku. Untuk mengingatkanku tentang apa yang telah ku
tinggalkan dalam reruntuhan.
“aku rasa kita berdua tau bahwa
itu lebih dari sebuah….” kalimat itu membuntuti kemanapun aku pergi,
memanas-manasiku, mengolok-olokku – menantangku menyangkalnya. menantangku untuk
memperdebatkan dari sisi lain. aku tak bisa. aku tak mampu menemukan alasan
yang meyakinkan untuk mendukung sudut pandang yang sangat berbeda ini. aku rasa
Denny akan - sangat bisa mengerti keadaanku.
“seharusnya kau mencintai pria
yang tak menyia-nyiakanmu. yang memperlakukanmu layaknya dia adalah seorang
suami.”, yaa Denny. aku juga selalu berharap Rama akan bisa menjadi suami dan
ayah yang seharusnya.
dan kini, yang tertinggal hanyalah
sebuah pertanyaan yang sudah dijawab. aku akan tetap menjadi istri untuk
suamiku, menghapus perasaanku pada sepupu Falla.
sekalipun hubunganku dengan Rama
lebih pantas orang sebut sebagai formalitas daripada hubungan yang didasari
cinta kasih, biarkanlah aku membuatnya terasa tetap manis, dengan melakukan
seperti yang seharusnya ku lakukan layaknya seorang istri.
Komentar
Posting Komentar